Rabu, 24 Desember 2008

Kompetisi modal | 1

"Sing dhuwite paling sithik, mati paling disik", itu kata termudah dalam kompetisi kapitalis. Berlaku untuk personal maupun perusahaan. Its not about product, its about competition...

Yah, semua tentang kompetisi. Produk yang diproduksi dengan harga 1 juta cuma dijual seharga 5 ratus ribu. Apakah laku keras? Pasti iya jika tanpa kompetitor. Bagaimana jika produk kompetitor senilai 1 juta dijual seharga 3 ratus ribu? Apakah yang 5 ratus ribu tadi bakal laku? Dengan akal sehat orang pasti memilih yang 3 ratus ribu, yang 5 ratus ribu akan kalah laku meskipun produk tersebut sudah dijual rugi.

Kejadian seperti ini mewabah di industri telko. Jika anda perhatikan, berapa biaya produksi kartu perdana yang dijual obral di pinggir - pinggir jalan? Ada yang jual 5 ribu, 3 ribu, bahkan ada yang di bawah itu dan sudah berisi pulsa. Apakah rugi? Ya sudah pasti rugi dong. Orang bea buatnya lebih mahal daripada jualnya. Iya kan?

Dengan kompetisi saat ini, sudah lumrah starter pack dijual rugi demi mendapatkan pelanggan. Yang terpenting adalah jangka panjangnya yaitu kontinuitas pembelian pulsa oleh pelanggan. Di industri telko, rugi demi mendapatkan subscriber baru adalah kewajiban karena semua bersaing untuk mendapatkan subscriber sebanyak - banyaknya. Jadi yang terpenting saat ini bagi yang ingin berkompetisi adalah modal. Paling sedikit modalnya, paling dulu matinya.

Bagaimana dengan operator yang mengharuskan menjual perdana beserta handsetnya? Saya pikir sama saja. Menjual rugi handset adalah solusi untuk mendapatkan pelanggan sebanyak - banyaknya. Makin besar modal untuk 'merugi', makin cepat kansnya untuk mendapatkan pelanggan dan mulai mengambil keuntungan melalui voucher yang terjual.

Dengan melihat trend industri telekomunikasi tersebut, efisiensi saat jumlah pelanggan masih minim menurut pendapat saya adalah kesalahan. Daripada merugi sedikit demi sedikit yang akhirnya menjadi besar karena penetrasi yang lamban, lebih baik merugi besar tapi singkat dengan menurunkan harga perdana + handset, plus pemasaran cepat dan optimal meski biaya tinggi. Mengapa begitu? Waktu adalah uang. Setiap waktu terbuang, ada depresiasi alat, ada sewa yang harus terus dibayar, dan masih banyak lagi modal tergerus karena 'ingin berhemat' padahal sebenarnya justru boros sekali karena dalam kelambanan tersebut revenuepun berjalan lamban. Hal paling lucu untuk perusahaan yang kelasya' nasional' adalah pelanggan masih hitungan jari tapi sudah bingung untuk menaikkan ARPU plus potong budget sana - sini. Apa nggak salah prioritas? Kalau sekedar coba - coba, lebih baik pakai nama Mandara, tidak perlu diganti menjadi Sampoerna.

Buat Mas Michael, mbok ditambah lagi modalnya mas...,biar Ceria cepet berkembang. Sayang lho,..potensinya kan bagus sebenernya...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

uti.xcujftz

Bookmark and Share

Posting Komentar

 
Theme : FeedCentre by BudiTyas